IDUL FITRI HARI KEMENANGAN
Mengapa Idul Fitri disebut-sebut
sebagai ‘Hari Kemenangan’ ? Jawaban atas pertanyaan ini bias ditelusuri melalui
2 (dua) pengertian berikut ini :
Pertama, dari kata
idul fithri itu sendiri yang berarti kembali ke fitrah, yakni ‘asal
kejadian’, atau ‘kesucian’, atau ‘agama yang benar’. Maka
setiap orang yang merayakan idul fitri dianggap sebagai cara seseorang untuk
kembali kepada ajaran yang benar, sehingga dia bisa memperoleh kemenangan.
Kedua, dari kata ‘minal
‘aidin wal faizin’ yang berarti ‘semoga kita termasuk orang-orang yang
kembali memperoleh kemenangan’ . Karena menurut para ahli, kata al-faizin
diambil dari kata fawz, sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an, yang
berarti ‘keburuntungan’ atau ‘kemenangan’.
Menurut Quraish Shihab, bila kata
fawz dirujukkan kepada Al-Qur’an, ditemukan bahwa hampir seluruh kata itu
kecuali Al-Qur’an surat An-Nisa : 73 mengandung makna ‘pengampunan dan
keridhaan Allah serta kebahagiaan surgawi’. Kalau begitu, maka bisa
dipahami bahwa kata ‘minal ‘aidin wal faizin’ sesungguhnya bermakna do’a,
yakni ‘semoga kita termasuk orang-orang yang memperoleh ampunan dan ridha
Allah SWT sehingga kita bisa mendapatkan kenikmatan surga-Nya’.
Makna lain dari kata idul fitri sebagai hari
kemenangan adalah karena pada hari itu seluruh kaum muslimin dan muslimat baru
saja menuntaskan kewajiban agamanya yang paling berat yaitu menahan hawa nafsu
melalui ibadah Ramadhan. Karena itu, barangsiapa mampu menuntaskan
ibadah Ramadhan itu selama sebulan penuh, tentu dia akhirnya keluar sebagai
pemenang dalam ujian kesabarannya itu. Bukankah di bulan puasa segenap umat
Islam diuji kesabarannya dalam menahan diri dari godaan hawa nafsu, baik nafsu
syahwat maupun nafsu makan dan minum di siang hari ? Itulah sebabnya, usai kita
melakukan ibadah puasa, lalu diakhiri dengan perayaan idul fitri, adalah tidak
lain dari upaya merayakan kemenangan jiwa kita sendiri.
Cobalah rasakan pada saat bulan puasa tetapi kita
tidak berpuasa, lantas tibalah saatnya hari Raya Idul Fitri, apa kira-kira yang
harus kita sambut ? Tidak ada. Sebab, orang yang tidak berpuasa di bulan
Ramadhan, maka pada saat tiba idul fitri, dia akan menyambut hari kemenangan
itu dengan sikap dingin, hambar, hampa, seolah tidak terjadi apa-apa. Sementara
orang yang berpuasa, apalagi sampai sebulan penuh, pasti merayakannya dengan
penuh kenikmatan. Inilah kemudian bisa dipahami bahwa mengapa Al-Qur’an
mengisyaratkan bahwa orang yang merayakan idul fitri itu seolah dia memperoleh
ampunan dan ridha Allah sehingga dia bisa mendapatkan kenikmatan surgawi.
Menurut
saya, kenikmatan surgawi tidaklah semata-mata dalam pengertian material, yaitu
surga yang dijanjikan oleh Allah di yaumil akhir nanti, tetapi juga bermakna
spiritual, yaitu berupa konsep tentang kebahagiaan dan kenikmatan hidup yang
diperoleh manusia setelah dia mampu menuntaskan suatu pekerjaan berat yang
dibebankan kepadanya. Dan kenikmatan spiritual itu bisa diperolehnya di
dunia. Bukankah kenikmatan hidup itu terasa kian besar manakala kita mampu
keluar dari kesulitan hidup dengan selamat ?
Seolah-olah kita dihadapkan pada sebuah kesulitan besar laksana keluar dari
lubang jarum kemudian masuk ke lapangan terbuka, sehingga kita bisa menikmati
udara segar dan hawa sejuk. Tiada lagi kepengapan dan kepenatan yang
mengepung jiwa kita.
Sesungguhnya
metafora ‘lapangan terbuka’ akan mampu memberikan kepada kita kenikmatan hidup
yang membahagiakan. Itulah yang disebut-sebut sebagai kemampuan manusia untuk
memperoleh kemenangan sejati dalam ber’idul fitri. Seolah di Hari Fitri semua
persoalan yang mengganjal kehidupan, terselesaikan. Apakah kamu tidak ingin
Alah memaafkan kamu ? Allah adalah Maha Pemaaf lagi Maha Penyayang (Al-Qur’an,
An-Nur : 22). Mudah-mudahan di Hari Raya Idul Fitri ini, kita pun kembali
termasuk orang-orang yang kembali memperoleh keridhaan Allah dan menikmati
keindahan surga-Nya, sebagai bukti bahwa kita ‘menang’ dalam mengatasi segala
ujian-Nya. Wallahua’lam.
Inilah hakikat Idul Fitri yang mengisyaratkan
adanya upaya manusia untuk kembali kepangkuan Tuhannya, atau kembali ke asal
usul yang menciptakan manusia, yaitu Allah SWT itu sendiri. Kembali ke
Tuhan dalam keadaan putih bersih setelah melakukan taubatan nashuha.
Gerak upaya
kembali ke asal adalah sebuah jargon yang mengindikasikan adanya ikhtiar sadar
manusia untuk melakukan penyegaran moral tatkala manusia hendak melakukan
transformasi social kehidupannya. Karena, setiap gerak ke depan ia selalu
membutuhkan langkah kembali ke belakang, agar gerak ke depan bias memiliki daya
jangkau yang lebih jauh dan panjang. Tanpa gerak kembali ke belakang besar
kemungkinan lompatan ke depan tidak memiliki daya tumpu yang kuat, sehingga
jangkauan yang tercapaikan pun akan sangat dekat dan pendek.
Ilustrasi ini menggambarkan, bahwa setiap gerak
maju betapapun hebatnya selalu membutuhkan langkah mundur sebagai proses
persiapan, ancang-ancang , bahkan penyegaran, agar dia dapat lebih leluasa
menata kembali arus nafas sehingga mampu melesat ke depan secara lebih ringan.
‘Idul Fitri
pun memiliki makna yang sama, yaitu sebagai langkah mundur untuk proses
persiapan dalam menghadapi tantangan hidup yang mungkin jauh lebih hebat dan berat
di masa-masa yang akan datang. Namun jauh lebih penting lagi adalah gerakan
memacu meningkatkan moral sosial kita yang suci, murni, dan sejati itu, baik di
mata manusia maupun di mata Allah SWT. Wassalam.
Dikutip dari buku : “Noktah
Pengharapan Manusia” .