.

Rabu, 15 Agustus 2012

Urgensi Idul Fitri

IDUL FITRI HARI KEMENANGAN

Mengapa Idul Fitri disebut-sebut sebagai ‘Hari Kemenangan’ ? Jawaban atas pertanyaan ini bias ditelusuri melalui 2 (dua) pengertian berikut ini :
Pertama, dari kata idul fithri itu sendiri yang berarti kembali ke fitrah, yakni ‘asal kejadian’, atau ‘kesucian’, atau ‘agama yang benar’. Maka setiap orang yang merayakan idul fitri dianggap sebagai cara seseorang untuk kembali kepada ajaran yang benar, sehingga dia bisa memperoleh kemenangan.
Kedua, dari kata ‘minal ‘aidin wal faizin’ yang berarti ‘semoga kita termasuk orang-orang yang kembali memperoleh kemenangan’ . Karena menurut para ahli, kata al-faizin diambil dari kata fawz, sebagaimana tersebut dalam Al-Qur’an, yang berarti ‘keburuntungan’ atau ‘kemenangan’.
Menurut Quraish Shihab, bila kata fawz dirujukkan kepada Al-Qur’an, ditemukan bahwa hampir seluruh kata itu kecuali Al-Qur’an surat An-Nisa : 73 mengandung makna ‘pengampunan dan keridhaan Allah serta kebahagiaan surgawi’. Kalau begitu, maka bisa dipahami bahwa kata ‘minal ‘aidin wal faizin’ sesungguhnya bermakna do’a, yakni ‘semoga kita termasuk orang-orang yang memperoleh ampunan dan ridha Allah SWT sehingga kita bisa mendapatkan kenikmatan surga-Nya’.
Makna lain dari kata idul fitri sebagai hari kemenangan adalah karena pada hari itu seluruh kaum muslimin dan muslimat baru saja menuntaskan kewajiban agamanya yang paling berat yaitu menahan hawa nafsu melalui ibadah Ramadhan. Karena itu, barangsiapa mampu menuntaskan ibadah Ramadhan itu selama sebulan penuh, tentu dia akhirnya keluar sebagai pemenang dalam ujian kesabarannya itu. Bukankah di bulan puasa segenap umat Islam diuji kesabarannya dalam menahan diri dari godaan hawa nafsu, baik nafsu syahwat maupun nafsu makan dan minum di siang hari ? Itulah sebabnya, usai kita melakukan ibadah puasa, lalu diakhiri dengan perayaan idul fitri, adalah tidak lain dari upaya merayakan kemenangan jiwa kita sendiri.
Cobalah rasakan pada saat bulan puasa tetapi kita tidak berpuasa, lantas tibalah saatnya hari Raya Idul Fitri, apa kira-kira yang harus kita sambut ? Tidak ada. Sebab, orang yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan, maka pada saat tiba idul fitri, dia akan menyambut hari kemenangan itu dengan sikap dingin, hambar, hampa, seolah tidak terjadi apa-apa. Sementara orang yang berpuasa, apalagi sampai sebulan penuh, pasti merayakannya dengan penuh kenikmatan. Inilah kemudian bisa dipahami bahwa mengapa Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa orang yang merayakan idul fitri itu seolah dia memperoleh ampunan dan ridha Allah sehingga dia bisa mendapatkan kenikmatan surgawi.
                Menurut saya, kenikmatan surgawi tidaklah semata-mata dalam pengertian material, yaitu surga yang dijanjikan oleh Allah di yaumil akhir nanti, tetapi juga bermakna spiritual, yaitu berupa konsep tentang kebahagiaan dan kenikmatan hidup yang diperoleh manusia setelah dia mampu menuntaskan suatu pekerjaan berat yang dibebankan kepadanya. Dan kenikmatan spiritual itu bisa diperolehnya di dunia. Bukankah kenikmatan hidup itu terasa kian besar manakala kita mampu keluar dari kesulitan hidup dengan selamat ?
Seolah-olah kita dihadapkan pada sebuah kesulitan besar laksana keluar dari lubang jarum kemudian masuk ke lapangan terbuka, sehingga kita bisa menikmati udara segar dan hawa sejuk. Tiada lagi kepengapan dan kepenatan yang mengepung jiwa kita.
Sesungguhnya metafora ‘lapangan terbuka’ akan mampu memberikan kepada kita kenikmatan hidup yang membahagiakan. Itulah yang disebut-sebut sebagai kemampuan manusia untuk memperoleh kemenangan sejati dalam ber’idul fitri. Seolah di Hari Fitri semua persoalan yang mengganjal kehidupan, terselesaikan. Apakah kamu tidak ingin Alah memaafkan kamu ? Allah adalah Maha Pemaaf lagi Maha Penyayang (Al-Qur’an, An-Nur : 22). Mudah-mudahan di Hari Raya Idul Fitri ini, kita pun kembali termasuk orang-orang yang kembali memperoleh keridhaan Allah dan menikmati keindahan surga-Nya, sebagai bukti bahwa kita ‘menang’ dalam mengatasi segala ujian-Nya. Wallahua’lam.
Inilah hakikat Idul Fitri yang mengisyaratkan adanya upaya manusia untuk kembali kepangkuan Tuhannya, atau kembali ke asal usul yang menciptakan manusia, yaitu Allah SWT itu sendiri. Kembali ke Tuhan dalam keadaan putih bersih setelah melakukan taubatan nashuha.
Gerak upaya kembali ke asal adalah sebuah jargon yang mengindikasikan adanya ikhtiar sadar manusia untuk melakukan penyegaran moral tatkala manusia hendak melakukan transformasi social kehidupannya. Karena, setiap gerak ke depan ia selalu membutuhkan langkah kembali ke belakang, agar gerak ke depan bias memiliki daya jangkau yang lebih jauh dan panjang. Tanpa gerak kembali ke belakang besar kemungkinan lompatan ke depan tidak memiliki daya tumpu yang kuat, sehingga jangkauan yang tercapaikan pun akan sangat dekat dan pendek.
Ilustrasi ini menggambarkan, bahwa setiap gerak maju betapapun hebatnya selalu membutuhkan langkah mundur sebagai proses persiapan, ancang-ancang , bahkan penyegaran, agar dia dapat lebih leluasa menata kembali arus nafas sehingga mampu melesat ke depan secara lebih ringan.
‘Idul Fitri pun memiliki makna yang sama, yaitu sebagai langkah mundur untuk proses persiapan dalam menghadapi tantangan hidup yang mungkin jauh lebih hebat dan berat di masa-masa yang akan datang. Namun jauh lebih penting lagi adalah gerakan memacu meningkatkan moral sosial kita yang suci, murni, dan sejati itu, baik di mata manusia maupun di mata Allah SWT. Wassalam.
Dikutip dari buku : “Noktah Pengharapan Manusia” .
»»  Baca Selengkapnya...

Jumat, 20 Juli 2012

JURUS JITU MENDIDIK ANAK

JURUS PERTAMA: MENDIDIK ANAK PERLU ILMU 

Ilmu merupakan kebutuhan primer setiap insan dalam setiap lini kehidupannya, termasuk dalam mendidik anak. Bahkan kebutuhan dia terhadap ilmu dalam mendidik anak, melebihi kebutuhannya terhadap ilmu dalam menjalankan pekerjaannya. Namun, realita berkata lain. Rupanya tidak sedikit di antara kita mempersiapkan ilmu untuk kerja lebih banyak daripada ilmu untuk menjadi orangtua. Padahal tugas kita menjadi orangtua dua puluh empat jam sehari semalam, termasuk saat tidur, terjaga serta antara sadar dan tidak. Sementara tugas kita dalam pekerjaan, hanya sebatas jam kerja. Betapa banyak suami yang menyandang gelar bapak hanya karena istrinya melahirkan. Sebagaimana banyak wanita disebut ibu semata-mata karena dialah yang melahirkan. Bukan karena mereka menyiapkan diri menjadi orangtua. Bukan pula karena mereka memiliki kepatutan sebagai orangtua. Padahal, menjadi orangtua harus berbekal ilmu yang memadai. Sekadar memberi mereka uang dan memasukkan di sekolah unggulan, tak cukup untuk membuat anak kita menjadi manusia unggul. Sebab, sangat banyak hal yang tidak bisa dibeli dengan uang. Uang memang bisa membeli tempat tidur yang mewah, tetapi bukan tidur yang lelap. Uang bisa membeli rumah yang lapang, tetapi bukan kelapangan hati untuk tinggal di dalamnya. Uang juga bisa membeli pesawat televisi yang sangat besar untuk menghibur anak, tetapi bukan kebesaran jiwa untuk memberi dukungan saat mereka terempas. Betapa banyak anak-anak yang rapuh jiwanya, padahal mereka tinggal di rumah-rumah yang kokoh bangunannya. Mereka mendapatkan apa saja dari orangtuanya, kecuali perhatian, ketulusan dan kasih sayang! Ilmu apa saja yang dibutuhkan? Banyak jenis ilmu yang dibutuhkan orangtua dalam mendidik anaknya. Mulai dari ilmu agama dengan berbagai varianya, hingga ilmu cara berkomunikasi dengan anak. Jenis ilmu agama pertama dan utama yang harus dipelajari orangtua adalah akidah. Sehingga ia bisa menanamkan akidah yang lurus dan keimanan yang kuat dalam jiwa anaknya. Nabi shallallahu’alaihiwasallam mencontohkan bagaimana membangun pondasi tersebut dalam jiwa anak, dalam salah satu sabdanya untuk Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, “إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللَّهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّه”. “Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah. Dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah kepada Allah”. HR. Tirmidzi dan beliau berkomentar, “Hasan sahih”. Selanjutnya ilmu tentang cara ibadah, terutama shalat dan cara bersuci. Demi merealisasikan wasiat Nabi shallallahu’alaihiwasallam untuk para orangtua, “مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْر”. “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat saat berumur tujuh tahun, dan pukullah jika enggan saat mereka berumur sepuluh tahun”. HR. Abu Dawud dan dinilai sahih oleh Syaikh al-Albany. Bagaimana mungkin orangtua akan memerintahkan shalat pada anaknya, jikalau ia tidak mengerti tatacara shalat yang benar. Mampukah orang yang tidak mempunyai sesuatu, untuk memberikan sesuatu kepada orang lain? Berikutnya ilmu tentang akhlak, mulai adab terhadap orangtua, tetangga, teman, tidak lupa adab keseharian si anak. Bagaimana cara makan, minum, tidur, masuk rumah, kamar mandi, bertamu dan lain-lain. Dalam hal ini Nabi shallallahu’alaihiwasallam mempraktekkannya sendiri, antara lain ketika beliau bersabda menasehati seorang anak kecil, “يَا غُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ”. “Nak, ucapkanlah bismillah (sebelum engkau makan) dan gunakanlah tangan kananmu”. HR. Bukhari dan Muslim dari Umar bin Abi Salamah. Yang tidak kalah pentingnya adalah: ilmu seni berinteraksi dan berkomunikasi dengan anak. Bagaimana kita menghadapi anak yang hiperaktif atau sebaliknya pendiam. Bagaimana membangun rasa percaya diri dalam diri anak. Bagaimana memotivasi mereka untuk gemar belajar. Bagaimana menumbuhkan bakat yang ada dalam diri anak kita. Dan berbagai konsep-konsep dasar pendidikan anak lainnya. Ayo belajar! Semoga pemaparan singkat di atas bisa menggambarkan pada kita urgensi ilmu dalam mendidik anak. Sehingga diharapkan bisa mendorong kita untuk terus mengembangkan diri, meningkatkan pengetahuan kita, menghadiri majlis taklim, membaca buku-buku panduan pendidikan. Agar kita betul-betul menjadi orangtua yang sebenarnya, bukan sekedar orang yang lebih tua dari anaknya! 

JURUS KEDUA: MENDIDIK ANAK PERLU KESALIHAN ORANGTUA

Tentu Anda masih ingat kisah ‘petualangan’ Nabi Khidir dengan Nabi Musa ‘alaihimassalam. Ya, di antara penggalan kisahnya adalah apa yang Allah sebutkan dalam surat al-Kahfi. Manakala mereka berdua memasuki suatu kampung dan penduduknya enggan untuk sekedar menjamu mereka berdua. Sebelum meninggalkan kampung tersebut, mereka menemukan rumah yang hampir ambruk. Dengan ringan tangan Nabi Khidir memperbaiki tembok rumah tersebut, tanpa meminta upah dari penduduk kampung. Nabi Musa terheran-heran melihat tindakannya. Nabi Khidir pun beralasan, bahwa rumah tersebut milik dua anak yatim dan di bawahnya terpendam harta peninggalan orangtua mereka yang salih. Allah berkehendak menjaga harta tersebut hingga kedua anak tersebut dewasa dan mengambil manfaat dari harta itu. Para ahli tafsir menyebutkan, bahwa di antara pelajaran yang bisa dipetik dari kisah di atas adalah: Allah akan menjaga keturunan seseorang manakala ia salih, walaupun ia telah meninggal dunia sekalipun. Subhânallâh, begitulah dampak positif kesalihan orang tua! Sekalipun telah meninggal dunia masih tetap dirasakan oleh keturunannya. Bagaimana halnya ketika ia masih hidup?? Tentu lebih besar dan lebih besar lagi dampak positifnya. Urgensi kesalihan orangtua dalam mendidik anak Kita semua mempunyai keinginan dan cita-cita yang sama. Ingin agar keturunan kita menjadi anak yang salih dan salihah. Namun, terkadang kita lupa bahwa modal utama untuk mencapai cita-cita mulia tersebut ternyata adalah: kesalihan dan ketakwaan kita selaku orangtua. Alangkah lucunya, manakala kita berharap anak menjadi salih dan bertakwa, sedangkan kita sendiri berkubang dalam maksiat dan dosa! Kesalihan jiwa dan perilaku orangtua mempunyai andil yang sangat besar dalam membentuk kesalihan anak. Sebab ketika si anak membuka matanya di muka bumi ini, yang pertama kali ia lihat adalah ayah dan bundanya. Manakala ia melihat orangtuanya berhias akhlak mulia serta tekun beribadah, niscaya itulah yang akan terekam dengan kuat di benaknya. Dan insyaAllah itupun juga yang akan ia praktekkan dalam kesehariannya. Pepatah mengatakan: “buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya”. Betapa banyak ketakwaan pada diri anak disebabkan ia mengikuti ketakwaan kedua orangtuanya atau salah seorang dari mereka. Ingat karakter dasar manusia, terutama anak kecil, yang suka meniru! Beberapa contoh aplikasi nyatanya Manakala kita menginginkan anak kita rajin untuk mendirikan shalat lima waktu, gamitlah tangannya dan berangkatlah ke masjid bersama. Bukan hanya dengan berteriak memerintahkan anak pergi ke masjid, sedangkan Anda asyik menonton televisi. Jika Anda berharap anak rajin membaca al-Qur’an, ramaikanlah rumah dengan lantunan ayat-ayat suci al-Qur’an yang keluar dari lisan ayah, ibu ataupun kaset dan radio. Jangan malah Anda menghabiskan hari-hari dengan membaca koran, diiringi lantunan langgam gendingan atau suara biduanita yang mendayu-dayu! Kalau Anda menginginkan anak jujur dalam bertutur kata, hindarilah berbohong sekecil apapun. Tanpa disadari, ternyata sebagai orang tua kita sering membohongi anak untuk menghindari keinginannya. Salah satu contoh pada saat kita terburu-buru pergi ke kantor di pagi hari, anak kita meminta ikut atau mengajak jalan-jalan mengelilingi perumahan. Apa yang kita lakukan? Apakah kita menjelaskannya dengan kalimat yang jujur? Atau kita lebih memilih berbohong dengan mengatakan, “Bapak hanya sebentar kok, hanya ke depan saja ya. Sebentaaar saja ya sayang…”. Tapi ternyata, kita malah pulang malam! Dalam contoh di atas, sejatinya kita telah berbohong kepada anak, dan itu akan ditiru olehnya. Terus apa yang sebaiknya kita lakukan? Berkatalah dengan jujur kepada anak. Ungkapkan dengan lembut dan penuh kasih serta pengertian, “Sayang, bapak mau pergi ke kantor. Kamu tidak bisa ikut. Tapi kalo bapak ke kebun binatang, insyaAllah kamu bisa ikut”. Kita tak perlu merasa khawatir dan menjadi terburu-buru dengan keadaan ini. Pastinya akan membutuhkan waktu lebih untuk memberi pengertian kepada anak karena biasanya mereka menangis. Anak menangis karena ia belum memahami keadaan mengapa orang tuanya harus selalu pergi di pagi hari. Kita perlu bersabar dan melakukan pengertian kepada mereka secara terus menerus. Perlahan anak akan memahami mengapa orangtuanya selalu pergi di pagi hari dan bila pergi bekerja, anak tidak bisa ikut. Anda ingin anak jujur? Mulailah dari diri Anda sendiri! Sebuah renungan penutup Tidak ada salahnya kita putar ingatan kepada beberapa puluh tahun ke belakang, saat sarana informasi dan telekomunikasi masih amat terbatas, lalu kita bandingkan dengan zaman ini dan dampaknya yang luar biasa untuk para orangtua dan anak. Dulu, masih banyak ibu-ibu yang rajin mengajari anaknya mengaji, namun sekarang mereka telah sibuk dengan acara televisi. Dahulu ibu-ibu dengan sabar bercerita tentang kisah para nabi, para sahabat hingga teladan dari para ulama, sekarang mereka lebih nyaman untuk menghabiskan waktu berfacebookan dan akrab dengan artis di televisi. Dulu bapak-bapak mengajari anaknya sejak dini tatacara wudhu, shalat dan ibadah primer lainnya, sekarang mereka sibuk mengikuti berita transfer pemain bola! Bagaimana kondisi anak-anak saat ini, dan apa yang akan terjadi di negeri kita lima puluh tahun ke depan, jika kondisi kita terus seperti ini?? Jika kita tidak ingin menjumpai mimpi buruk kehancuran negeri ini, persiapkan generasi muda sejak sekarang. Dan untuk merealisasikan itu, mulailah dengan memperbaiki diri kita sendiri selaku orangtua! Sebab mendidik anak memerlukan kesalihan orangtua. Semoga Allah senantiasa meridhai setiap langkah baik kita, amien… 

JURUS KETIGA: MENDIDIK ANAK PERLU KEIKHLASAN  

Ikhlas merupakan ruh bagi setiap amalan. Amalan tanpa disuntik keikhlasan bagaikan jasad yang tak bernyawa. Termasuk jenis amalan yang harus dilandasi keikhlasan adalah mendidik anak. Apa maksudnya? Maksudnya adalah: Rawat dan didik anak dengan penuh ketulusan dan niat ikhlas semata-mata mengharapkan keridhaan Allah ta’ala. Canangkan niat semata-mata untuk Allah dalam seluruh aktivitas edukatif, baik berupa perintah, larangan, nasehat, pengawasan maupun hukuman. Iringilah setiap kata yang kita ucapkan dengan keikhlasan.. Bahkan dalam setiap perbuatan yang kita lakukan untuk merawat anak, entah itu bekerja membanting tulang guna mencari nafkah untuknya, menyuapinya, memandikannya hingga mengganti popoknya, niatkanlah semata karena mengharap ridha Allah. Apa sih kekuatan keikhlasan? Ikhlas memiliki dampak kekuatan yang begitu dahsyat. Di antaranya: 1. Dengan ketulusan, suatu aktivitas akan terasa ringan. Proses membuat dan mendidik anak, mulai dari mengandung, melahirkan, menyusui, merawat, membimbing hingga mendidik, jelas membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Puluhan tahun! Tentu di rentang waktu yang cukup panjang tersebut, terkadang muncul dalam hati rasa jenuh dan kesal karena ulah anak yang kerap menjengkelkan. Seringkali tubuh terasa super capek karena banyaknya pekerjaan; cucian yang menumpuk, berbagai sudut rumah yang sebentar-sebentar perlu dipel karena anak ngompol di sana sini dan tidak ketinggalan mainan yang selalu berserakan dan berantakan di mana-mana.Anda ingin seabreg pekerjaan itu terasa ringan? Jalanilah dengan penuh ketulusan dan keikhlasan! Sebab seberat apapun pekerjaan, jika dilakukan dengan ikhlas insyaAllah akan terasa ringan, bahkan menyenangkan. Sebaliknya, seringan apapun pekerjaan, kalau dilakukan dengan keluh kesah pasti akan terasa seberat gunung dan menyebalkan. 1. Dengan keikhlasan, ucapan kita akan berbobot. Sering kita mencermati dan merasakan bahwa di antara kata-kata kita, ada yang sangat membekas di dada anak-anak yang masih belia hingga mereka dewasa kelak. Sebaliknya, tak sedikit ucapan yang bahkan kita teriakkan keras-keras di telinganya, ternyata berlalu begitu saja bagai angin malam yang segera hilang kesejukannya begitu mentari pagi bersinar.Apa yang membedakan? Salah satunya adalah kekuatan yang menggerakkan kata-kata kita. Jika Engkau ucapkan kata-kata itu untuk sekedar meluapkan amarah, maka anak-anak itu akan mendengarnya sesaat dan sesudah itu hilang tanpa bekas. Namun jika Engkau ucapkan dengan sepenuh hati sambil mengharapkan turunnya hidayah untuk anak-anak yang Engkau lahirkan dengan susah payah itu, insya Allah akan menjadi perkataan yang berbobot.Sebab bobot kata-kata kita kerap bersumber bukan dari manisnya tutur kata, melainkan karena kuatnya penggerak dari dalam dada; iman kita dan keikhlasan kita… 1. Dengan keikhlasan anak kita akan mudah diatur. Jangan pernah meremehkan perhatian dan pengamatan anak kita. Anak yang masih putih dan bersih dari noda dosa akan begitu mudah merasakan suasana hati kita.Dia bisa membedakan antara tatapan kasih sayang dengan tatapan kemarahan, antara dekapan ketulusan dengan pelukan kejengkelan, antara belaian cinta dengan cubitan kesal. Bahkan ia pun bisa menangkap suasana hati orangtuanya, sedang tenang dan damaikah, atau sedang gundah gulana?Manakala si anak merasakan ketulusan hati orangtuanya dalam setiap yang dikerjakan, ia akan menerima arahan dan nasehat yang disampaikan ayah dan bundanya, karena ia menangkap bahwa segala yang disampaikan padanya adalah semata demi kebaikan dirinya. 1. Dengan keikhlasan kita akan memetik buah manis pahala. Keikhlasan bukan hanya memberikan dampak positif di dunia, namun juga akan membuahkan pahala yang amat manis di alam sana. Yang itu berujung kepada berkumpulnya orangtua dengan anak-anaknya di negeri keabadian; surga Allah yang penuh dengan keindahan dan kenikmatan.وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ Artinya: “Orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami akan pertemukan mereka dengan anak cucu mereka”. QS. Ath-Thur: 21. Dipertemukan di mana? Di surga Allah jalla wa ‘ala! Mulailah dari sekarang! Latih dan biasakan diri untuk ikhlas dari sekarang, sekecil apapun perbuatan yang kita lakukan. Kalau Engkau bangun di tengah malam untuk membuatkan susu buat anakmu, aduklah ia dengan penuh keikhlasan sambil mengharap agar setiap tetes yang masuk kerongkongannya akan menyuburkan setiap benih kebaikan dan menyingkirkan setiap bisikan yang buruk. Kalau Engkau menyuapkan makanan untuknya, suapkanlah dengan penuh keikhlasan sembari memohon kepada Allah agar setiap makanan yang mengalirkan darah di tubuh mereka akan mengokohkan tulang-tulang mereka, membentuk daging mereka dan membangkitkan jiwa mereka sebagai penolong-penolong agama Allah. Sehingga dengan itu, semoga setiap suapan yang masuk ke mulut mereka akan membangkitkan semangat dan meninggikan martabat. Mereka akan bersemangat untuk senantiasa menuntut ilmu, beribadah dengan tekun kepada Allah dan meninggikan agama-Nya. Amîn yâ mujîbas sâ’ilîn… 

JURUS KEEMPAT: MENDIDIK ANAK PERLU KESABARAN 

Sabar merupakan salah satu syarat mutlak bagi mereka yang ingin berhasil mengarungi kehidupan di dunia. Kehidupan yang tidak lepas dari susah dan senang, sedih dan bahagia, musibah dan nikmat, menangis dan tertawa, sakit dan sehat, lapar dan kenyang, rugi dan untung, miskin dan kaya, serta mati dan hidup. Di antara episode perjalanan hidup yang membutuhkan kesabaran ekstra adalah masa-masa mendidik anak. Sebab rentang waktunya tidak sebentar dan seringkali anak berperilaku yang tidak sesuai dengan harapan kita. Contoh aplikasi kesabaran 1. Sabar dalam membiasakan perilaku baik terhadap anak. Anak bagaikan kertas yang masih putih, tergantung siapa yang menggoreskan lukisan di atasnya. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menggambarkan hal itu dalam sabdanya,“مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِه” “Setiap bayi lahir dalam keadaan fitrah. Orang tuanya lah yang akan menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi”. HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Andaikan sejak kecil anak dibiasakan berperilaku baik, mulai dari taat beribadah hingga adab mulia dalam keseharian, insyaAllah hal itu akan sangat membekas dalam dirinya. Sebab mendidik di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu. Mengukir di atas batu membutuhkan kesabaran dan keuletan, namun jika ukiran tersebut telah jadi niscaya ia akan awet dan tahan lama. 1. Sabar dalam menghadapi pertanyaan anak. Menghadapi pertanyaan anak, apalagi yang baru saja mulai tumbuh dan menginginkan untuk mengetahui segala sesuatu yang ia lihat, memerlukan kesabaran yang tidak sedikit. Terkadang timbul rasa jengkel dengan pertanyaan anak yang tidak ada habis-habisnya, hingga kerap kita kehabisan kata-kata untuk menjawab pertanyaannya.Sesungguhnya kesediaan anak untuk bertanya kepada kita, ‘seburuk’ apa pun pertanyaan yang ia lontarkan, merupakan pertanda bahwa mereka memberikan kepercayaannya kepada kita untuk menjawab. Maka jalan terbaik adalah menghargai kepercayaannya dengan tidak mematikan kesediaannya untuk bertanya, serta memberikan jawaban yang mengena dan menghidupkan jiwa.Jika kita ogah-ogahan untuk menjawab pertanyaan anak atau menjawab sekenanya atau bahkan justru menghardiknya, hal itu bisa berakibat fatal. Anak tidak lagi percaya dengan kita, sehingga ia akan mencari orang di luar rumah yang dianggapnya bisa memuaskan pertanyaan-pertanyaan dia. Dan tidak ada yang bisa menjamin bahwa orang yang ditemuinya di luar adalah orang baik-baik! Ingat betapa rusaknya pergaulan di luar saat ini! 1. Sabar menjadi pendengar yang baik. Banyak orang tua adalah pendengar yang buruk bagi anak-anaknya. Bila ada suatu masalah yang terjadi pada anak, orangtua lebih suka menyela, langsung menasihati tanpa mau bertanya permasalahannya serta asal-usul kejadiannya.Salah satu contoh, anak kita baru saja pulang sekolah yang mestinya siang ternyata baru pulang sore hari. Kita tidak mendapat pemberitahuan apa pun darinya atas keterlambatan tersebut. Tentu saja kita merasa kesal menunggu, sekaligus juga khawatir. Lalu pada saat anak kita sampai dan masih lelah, kita langsung menyambutnya dengan serentetan pertanyaan dan omelan. Bahkan setiap kali anak hendak berbicara, kita selalu memotongnya, dengan ungkapan, “Sudah-sudah tidak perlu banyak alasan”, atau “Ah, papa/mama tahu kamu pasti main ke tempat itu lagi kan?!”. Akibatnya, ia malah tidak mau bicara dan marah pada kita.Pada saat seperti itu, yang sangat dibutuhkan oleh seorang anak adalah ingin didengarkan terlebih dahulu dan ingin diperhatikan. Mungkin keterlambatannya ternyata disebabkan adanya tugas mendadak dari sekolah. Ketika anak tidak diberi kesempatan untuk berbicara, ia merasa tidak dihargai dan akhirnya dia juga berbalik untuk tidak mau mendengarkan kata-kata kita.Yang sebaiknya dilakukan adalah, kita memulai untuk menjadi pendengar yang baik. Berikan kepada anak waktu yang seluas-luasnya untuk mengungkapkan segalanya. Bersabarlah untuk tidak berkomentar sampai saatnya tiba. Ketika anak sudah selesai menjelaskan duduk permasalahan, barulah Anda berbicara dan menyampaikan apa yang ingin Anda sampaikan. 1. Sabar manakala emosi memuncak. Hendaknya kita tidak memberikan sanksi atau hukuman pada anak ketika emosi kita sedang memuncak. Pada saat emosi kita sedang tinggi, apa pun yang keluar dari mulut kita, cenderung untuk menyakiti dan menghakimi, tidak untuk menjadikan anak lebih baik.Yang seyogyanya dilakukan adalah: bila kita dalam keadaan sangat marah, segeralah menjauh dari anak. Pilihlah cara yang tepat untuk menurunkan amarah kita dengan segera. Bisa dengan mengamalkan tuntunan Nabi shallallahu’alaihiwasallam; yakni berwudhu.Jika kita bertekad untuk tetap memberikan sanksi, tundalah sampai emosi kita mereda. Setelah itu pilih dan susunlah bentuk hukuman yang mendidik dan tepat dengan konteks kesalahan yang diperbuatnya. Ingat, prinsip hukuman adalah untuk mendidik bukan untuk menyakiti.Berakit-rakit ke huluPepatah Arab mengatakan, “Sabar bagaikan buah brotowali, pahit rasanya, namun kesudahannya lebih manis daripada madu”.Sabar dalam mendidik anak memang terasa berat, namun tunggulah buah manisnya kelak di dunia maupun akhirat. Di dunia mereka akan menjadi anak-anak yang menurut kepada orangtuanya insyaAllah. Dan manakala kita telah masuk di alam akhirat mereka akan terus mendoakan kita, sehingga curahan pahala terus mengalir deras. Semoga…

 JURUS KELIMA: MENDIDIK ANAK PERLU IRINGAN DOA 

Beberapa saat lalu saya mampir shalat Jum’at di masjid salah satu perumahan di bilangan Sokaraja Banyumas. Di sela-sela khutbahnya, khatib bercerita tentang kejadian yang menimpa sepasang suami istri. Keduanya terkena stroke, namun sudah sekian bulan tidak ada satupun di antara anaknya yang datang menjenguk. Manakala dibesuk oleh si khatib, sang bapak bercerita sambil menangis terisak, “Mungkin Allah telah mengabulkan doa saya. Sekarang inilah saya merasakan akibat dari doa saya! Dahulu saya selalu berdoa agar anak-anak saya jadi ‘orang’. Berhasil, kaya, sukses dst. Benar, ternyata Allah mengabulkan seluruh permintaan saya. Semua anak saya sekarang menjadi orang kaya dan berhasil. Mereka tinggal di berbagai pulau di tanah air, jauh dari saya. Memang mereka semua mengirimkan uang dalam jumlah yang tidak sedikit dan semua menelpon saya untuk segera berobat. Namun bukan itu yang saya butuhkan saat ini. Saya ingin belaian kasih sayang tangan mereka. Saya ingin dirawat dan ditunggu mereka, sebagaimana dulu saya merawat mereka”. Ya, berhati-hatilah Anda dalam memilih redaksi doa, apalagi jika itu ditujukan untuk anak Anda. Tidak ada redaksi yang lebih baik dibandingkan redaksi doa yang diajarkan dalam al-Qur’an dan Hadits. “Robbanâ hablanâ min azwâjinâ wa dzurriyyâtinâ qurrota a’yun, waj’alnâ lil muttaqîna imâmâ” (Wahai Rabb kami, karuniakanlah pada kami pasangan dan keturunan yang menyejukkan pandangan mata. Serta jadikanlah kami imam bagi kaum muttaqin). QS. Al-Furqan: 74. Seberapa besar sih kekuatan doa? Sebesar apapun usaha orangtua dalam merawat, mendidik, menyekolahkan dan mengarahkan anaknya, andaikan Allah ta’ala tidak berkenan untuk menjadikannya anak salih, niscaya ia tidak akan pernah menjadi anak salih. Hal ini menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah dan betapa kecilnya kekuatan kita. Ini jelas memotivasi kita untuk lebih membangun ketergantungan dan rasa tawakkal kita kepada Allah jalla wa ‘ala. Dengan cara, antara lain, memperbanyak menghiba, merintih, memohon bantuan dan pertolongan dari Allah dalam segala sesuatu, terutama dalam hal mendidik anak. Secara khusus, doa orangtua untuk anaknya begitu spesial. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam menjelaskan hal itu dalam sabdanya, ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لَا شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ “Tiga doa yang akan dikabulkan tanpa ada keraguan sedikitpun. Doa orangtua, doa musafir dan doa orang yang dizalimi”. HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albany. Sejak kapan kita mendoakan anak kita? Sejak Anda melakukan proses hubungan suami istri telah disyariatkan untuk berdoa demi kesalihan anak Anda. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengingatkan, “إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَتَى أَهْلَهُ وَقَالَ: “بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا” فَرُزِقَا وَلَدًا لَمْ يَضُرَّهُ الشَّيْطَانُ” “Jika salah seorang dari kalian sebelum bersetubuh dengan istrinya ia membaca “Bismillah, allôhumma jannibnasy syaithôn wa jannibisy syaithôna mâ rozaqtanâ” (Dengan nama Allah. Ya Allah jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau karuniakan pada kami), lalu mereka berdua dikaruniai anak; niscaya setan tidak akan bisa mencelakakannya”. HR. Bukhari (hal. 668 no. 3271) dan Muslim (X/246 no. 3519) dari Ibnu Abbas. Ketika anak telah berada di kandungan pun jangan pernah lekang untuk menengadahkan tangan dan menghadapkan diri kepada Allah, memohon agar kelak keturunan yang lahir ini menjadi generasi yang baik. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mencontohkan, رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ “Wahai Rabbi, anugerahkanlah kepadaku (anak) yang termasuk orang-orang salih”. QS. Ash-Shâffât: 100. Nabi Zakariya ‘alaihissalam juga demikian, رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ “Ya Rabbi, berilah aku dari sisiMu keturunan yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa”. QS. Ali Imran: 38. Setelah lahir hingga anak dewasa sekalipun, kawal dan iringilah terus dengan doa. Pilihlah waktu-waktu yang mustajab. Antara adzan dengan iqamah, dalam sujud dan di sepertiga malam terakhir misalnya.Bahkan tidak ada salahnya ketika berdoa, Anda perdengarkan doa tersebut di hadapan anak Anda. Selain untuk mengajarkan doa-doa nabawi tersebut, juga agar dia melihat dan memahami betapa besar harapan Anda agar dia menjadi anak salih. Awas, hati-hati! Doa orangtua itu mustajab, baik doa tersebut bermuatan baik maupun buruk. Maka berhati-hatilah wahai para orangtua. Terkadang ketika Anda marah, tanpa terasa terlepas kata-kata yang kurang baik terhadap anak Anda, lalu Allah mengabulkan ucapan tersebut, akibatnya Anda menyesal seumur hidup.

»»  Baca Selengkapnya...

Minggu, 01 Juli 2012

PUASA DAN SUJUD PANJANG RASULULLAH DI BULAN SYA’BAN

Pontren Blora, Sya’ban adalah gerbang Ramadhan. Secara fisik, kita harus mempersiapkan menyambut Ramadhan dengan melatih diri memperbanyak ibadah dan khususnya puasa. Dan di bulan Sya'ban ini juga ada malam nisfu sya'ban, yaitu malam pertengahan bulan Sya'ban. Malam itu bisa kita jadikan waktu pengingat kembali akan persiapan-persiapan kita dalam menyambut bulan Ramadhan yang penuh maghfirah. Berikut ini hadist-hadist seputar keutamaan bulan Sya'ban semoga bisa kita baca dan amalkan: Dari Aisyah r.a. beliau berkata: "Rasulullah s.a.w. berpuasa hingga kita mengatakan tidak pernah tidak puasa, dan beliau berbuka (tidak puasa) hingga kita mengatakan tidak puasa, tapi aku tidak pernah melihat beliau menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali bulan Ramadhan dan aku tidak pernah melihat beliau memperbanyak puasa selain bulan Ramadhan kecuali pada bulan Sya'ban". (h.r. Bukhari). Beliau juga bersabda:"Kerjakanlah ibadah apa yang engkau mampu, sesungguhnya Allah tidak pernah bosan hingga kalian bosan". Usamah bin Zaid bertanya kepada Rasulullah s.a.w.:'Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu memperbanyak berpuasa (selain Ramadhan) kecuali pada bulan Sya'ban? Rasulullah s.a.w. menjawab:"Itu bulan dimana manusia banyak melupakannya antara Rajab dan Ramadhan, di bulan itu perbuatan dan amal baik diangkat ke Tuhan semesta alam, maka aku ingin ketika amalku diangkat, aku dalam keadaan puasa". (HR. Abu Dawud dan Nasa'i). Dari A'isyah: "Suatu malam rasulullah salat, kemudian beliau bersujud panjang, sehingga aku menyangka bahwa Rasulullah telah diambil, karena curiga maka aku gerakkan telunjuk beliau dan ternyata masih bergerak. Setelah Rasulullah usai salat beliau berkata: "Hai A'isyah engkau tidak dapat bagian?". Lalu aku menjawab: "Tidak ya Rasulullah, aku hanya berfikiran yang tidak-tidak (menyangka Rasulullah telah tiada) karena engkau bersujud begitu lama". Lalu beliau bertanya: "Tahukah engkau, malam apa sekarang ini". "Rasulullah yang lebih tahu", jawabku. "Malam ini adalah malam nisfu Sya'ban, Allah mengawasi hambanya pada malam ini, maka Ia memaafkan mereka yang meminta ampunan, memberi kasih sayang mereka yang meminta kasih sayang dan menyingkirkan orang-orang yang dengki" (H.R. Baihaqi) Dalam hadis Ali, Rasulullah bersabda: "Malam nisfu Sya'ban, maka hidupkanlah dengan salat dan puasalah pada siang harinya, sesungguhnya Allah turun ke langit dunia pada malam itu, lalu Allah bersabda: "Orang yang meminta ampunan akan Aku ampuni, orang yang meminta rizqi akan Aku beri dia rizqi, orang-orang yang mendapatkan cobaan maka aku bebaskan, hingga fajar menyingsing." (H.R. Ibnu Majah). Bagaimana merayakan malam Nisfu Sya'ban? Adalah dengan memperbanyak ibadah dan salat malam dan dengan puasa. Adapun meramaikan malam Nisfu Sya'ban dengan berlebih-lebihan seperti dengan salat malam berjamaah, Rasulullah tidak pernah melakukannya. Sebagian umat Islam juga mengenang malam ini sebagai malam diubahnya kiblat dari masjidil Aqsa ke arah Ka'bah. (gie)
»»  Baca Selengkapnya...

Selasa, 19 Juni 2012

Boarding School dan Pesantren Masa Depan

Pontren Blora ,Seiring dengan perkembangan zaman di era teknologi informasi dan kemajuan iptek yang semakin tidak terbendung lagi, pesantren sebagai sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial keagamaan, harus senantiasa melakukan pengembangan, terutama di bidang manajemen dan kurikulum pendidikan. Pengembangan pesantren tentu tidak terlepas dari adanya pelbagai kendala yang harus dihadapi. Dewasa ini, dunia secara dinamis telah menunjukkan perkembangan dan perubahan secara cepat, yang tentunya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat berpengaruh terhadap dunia pesantren. Terkait hal ini, Saifuddin Amir (2006) berpendapat bahwa ada beberapa hal yang sedang dan akan dihadapi pesantren dalam melakukan pengembangannya, yaitu: Pertama, image pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yang tradisional, tidak modern, informal, dan bahkan teropinikan sebagai lembaga yang melahirkan terorisme, telah mempengaruhi pola pikir masyarakat untuk meninggalkan dunia pesantren. Kedua, sarana dan prasarana penunjang yang terlihat masih kurang memadai. Bukan saja dari segi infrastruktur bangunan yang harus segera di benahi, melainkan terdapat pula yang masih kekurangan ruangan pondok (asrama) sebagai tempat menetapnya santri. Ketiga, sumber daya manusia. Sekalipun sumber daya manusia dalam bidang keagamaan tidak dapat diragukan lagi, tetapi dalam rangka meningkatkan eksistensi dan peran pesantren dalam bidang kehidupan sosial masyarakat, diperlukan perhatian yang serius. Penyediaan dan peningkatan sumber daya manusia dalam bidang manajemen kelembagaan, serta bidang-bidang yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat, mesti menjadi pertimbangan pesantren. Keempat, aksesibilitas dan networking. Peningkatan akses dan networking merupakan salah satu kebutuhan untuk pengembangan pesantren. Penguasaan akses dan networking dunia pesantren masih terlihat lemah, terutama sekali pesantren-pesantren yang berada di pelosok. Ketimpangan antar pesantren besar dan pesantren kecil begitu terlihat dengan jelas. Kelima, manajemen kelembagaan. Manajemen merupakan unsur penting dalam pengelolaan pesantren. Pada saat ini masih terlihat bahwa pesantren dikelola secara tradisional apalagi dalam penguasaan informasi dan teknologi yang masih belum optimal. Keenam, kemandirian ekonomi kelembagaan. Kebutuhan keuangan selalu menjadi kendala dalam melakukan aktivitas pesantren, baik yang berkaitan dengan kebutuhan pengembangan pesantren maupun dalam proses aktivitas keseharian pesantren. Ketujuh, kurikulum yang berorientasi life skills santri dan masyarakat. Pesantren masih berkonsentrasi pada peningkatan wawasan dan pengalaman keagamaan santri dan masyarakat. Apabila melihat tantangan kedepan yang semakin berat, peningkatan kapasitas santri dan masyarakat tidak hanya cukup dalam bidang keagamaan semata, tetapi harus ditunjang oleh kemampuan yang bersifat keahlian. Berangkat dari kenyataan, jelas pesantren di masa yang akan datang dituntut berbenah, menata diri dalam menghadapi persaingan “bisnis” pendidikan. Tetapi perubahan dan pembenahan yang dimaksud hanya sebatas manajemen dan bukan coraknya apalagi berganti baju dari salafiyah ke mu’asyir (modern), karena hal itu hanya akan menghancurkan nilai-nilai positif pesantren seperti yang terjadi sekarang ini, lulusannya akeh sing ora iso ngaji. Idealnya pesantren ke depan harus bisa mengimbangi tuntutan zaman dengan mempertahankan tradisi dan nilai-nilai kesalafannya. Sekarang ini, ada dua fenomena menarik dalam dunia pendidikan di Indonesia yakni munculnya sekolah-sekolah terpadu (mulai tingkat dasar hingga menengah); dan penyelenggaraan sekolah bermutu yang sering disebut dengan boarding school. Para murid mengikuti pendidikan reguler dari pagi hingga siang di sekolah, kemudian dilanjutkan dengan pendidikan agama atau pendidikan nilai-nilai khusus di malam hari. Selama 24 jam anak didik berada di bawah didikan dan pengawasan para guru pembimbing. Di lingkungan sekolah ini mereka dipacu untuk menguasai ilmu dan teknologi secara intensif. Selama di lingkungan asrama mereka ditempa untuk menerapkan ajaran agama atau nilai-nilai khusus tadi, tak lupa mengekspresikan rasa seni dan ketrampilan hidup di hari libur. Hari-hari mereka adalah hari-hari berinteraksi dengan teman sebaya dan para guru. Rutinitas kegiatan dari pagi hingga malam sampai ketemu pagi lagi, mereka menghadapi “makhluk hidup” yang sama, orang yang sama, lingkungan yang sama, dinamika dan romantika yang seperti itu pula. Dalam khazanah pendidikan kita, sekolah berasrama adalah model pendidikan yang cukup tua. Pendidikan berasrama telah banyak melahirkan tokoh besar dan mengukir sejarah kehidupan umat manusia. Kehadiran boarding school adalah suatu keniscayaan zaman kini. Keberadaannya adalah suatu konsekwensi logis dari perubahan lingkungan sosial dan keadaan ekonomi serta cara pandang religiusitas masyarakat. Pertama, lingkungan sosial kita kini telah banyak berubah terutama di kota-kota besar. Sebagian besar penduduk tidak lagi tinggal dalam suasana masyarakat yang homogen, kebiasaan lama bertempat tinggal dengan keluarga besar satu klan atau marga telah lama bergeser ke arah masyarakat yang heterogen. Hal ini berimbas pada pola perilaku masyarakat yang berbeda karena berada dalam pengaruh nilai-nilai yang berbeda pula. Kedua, keadaan ekonomi masyarakat yang semakin membaik mendorong pemenuhan kebutuhan di atas kebutuhan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Bagi kalangan mengengah-atas yang baru muncul akibat tingkat pendidikan mereka yang cukup tinggi sehingga mendapatkan posisi-posisi yang baik dalam lapangan pekerjaan berimplikasi pada tingginya penghasilan mereka. Hal ini mendorong niat dan tekad untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak melebihi pendidikan yang telah diterima orang tuanya. Ketiga, cara pandang religiusitas. Masyarakat telah, sedang, dan akan terus berubah. Kecenderungan terbaru masyarakat perkotaan sedang bergerak ke arah yang semakin religius. Indikatornya adalah semakin diminati dan semaraknya kajian dan berbagai kegiatan keagamaan. Modernitas membawa implikasi negatif dengan adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan ruhani dan jasmani. Untuk itu masyarakat tidak ingin hal yang sama akan menimpa anak-anak mereka. Intinya, ada keinginan untuk melahirkan generasi yang lebih agamis atau memiliki nilai-nilai hidup yang baik mendorong orang tua mencarikan sistem pendidikan alternatif. Dari ketiga faktor di atas, sistem pendidikan boarding school seolah menemukan pasarnya. Dari segi sosial, sistem boarding school mengisolasi anak didik dari lingkungan sosial yang heterogen yang cenderung buruk. Di lingkungan sekolah dan asrama dikonstruksi suatu lingkungan sosial yang relatif homogen yakni teman sebaya dan para guru pembimbing. Homogen dalam tujuan yakni menuntut ilmu sebagai sarana mengejar cita-cita. Dari segi ekonomi, boarding school memberikan layanan yang paripurna sehingga menuntut biaya yang cukup tinggi. Oleh karena itu anak didik akan benar-benar terlayani dengan baik melalui berbagai layanan dan fasilitas. Dari segi semangat religiusitas, boarding school menjanjikan pendidikan yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan ruhani, intelektual dan spiritual. Nampaknya, konsep boarding school menjadi alternatif pilihan sebagai model pengembangan pesantren yang akan datang. Pemerintah diharapkan semakin serius dalam mendukung dan mengembangkan konsep pendidikan seperti ini. Sehingga, pesantren menjadi lembaga pendidikan yang maju dan bersaing dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berbasis pada nilai-nilai spiritual yang handal.[gie ]
»»  Baca Selengkapnya...

KEUTAMAAN BULAN RAJAB

Pontren Blora, Bulan Rajab merupakan salah satu bulan Muharram yang artinya dimulyakan (Ada 4 bulan: Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab). Puasa dalam bulan Rajab, sebagaimana dalam bulan-bulan mulya lainnya, hukumnya sunnah. Diriwayatkan dari Mujibah al-Bahiliyah, Rasulullah bersabda "Puasalah pada bulan-bulan haram (mulia)." (Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad). Hadis lainnya adalah Riwayatnya al-Nasa'i dan Abu Dawud (dan disahihkan oleh Ibnu Huzaimah): "Usamah berkata pada Nabi saw, 'Wahai Rasulullah, saya tak melihat Rasul melakukan puasa (sunat) sebanyak yang Rasul lakukan dalam bulan Sya'ban.' Rasul menjawab: 'Bulan Sya'ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan oleh kebanyakan orang.'" Menurut al-Syaukani (Naylul Authar, dalam bahasan puasa sunat) ungkapan Nabi "Bulan Sya'ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan kebanyakan orang" itu secara implisit menunjukkan bahwa bulan Rajab juga disunnahkan melakukan puasa di dalamnya. Ada beberapa hadis lain yang menerangkan keutamaan bulan Rajab. Seperti berikut ini: • "Barang siapa berpuasa pada bulan Rajab sehari maka laksana ia puasa selama sebulan, bila puasa 7 hari maka ditutuplah untuknya 7 pintu neraka Jahim, bila puasa 8 hari maka dibukakan untuknya 8 pintu sorga, dan bila puasa 10 hari maka digantilah dosa-dosanya dengan kebaikan." • Riwayat al-Thabrani dari Sa'id bin Rasyid: Barangsiapa puasa sehari di bulan Rajab maka laksana ia puasa setahun, bila puasa 7 hari maka ditutuplah untuknya pintu-pintu neraka Jahanam, bila puasa 8 hari dibukakan untuknya 8 pintu sorga, bila puasa 10 hari Allah akan mengabulkan semua permintaannya....." • "Sesugguhnya di sorga terdapat sungai yang dinamakan Rajab, airnya lebih putih daripada susu dan rasanya lebih manis dari madu. Barangsiapa puasa sehari pada bulan Rajab, maka ia akan dikaruniai minum dari sungai tersebut". • Riwayat (secara mursal) Abul Fath dari al-Hasan, Nabi saw berkata: "Rajab itu bulannya Allah, Sya'ban bulanku, dan Ramadan bulannya umatku." Pendapat al-Syaukani, bila semua hadis yang secara khusus menunjukkan keutamaan bulan Rajab dan disunahkan puasa di dalamnya kurang kuat dijadikan landasan, maka hadis-hadis yang umum (spt yang disebut pertamakali di atas) itu cukup menjadi hujah atau landasan. Di samping itu, karena juga tak ada dalil yang kuat yang memakruhkan puasa di bulan Rajab.
»»  Baca Selengkapnya...

BARONGAN SANTRI BLORA RAIH JUARA SATU TK. PROVINSI

Pontren Blora, Seni Barong Kreasi yang ditampilkan oleh santri Blora mendapatkan apresiasi positif dari Dewan Juri Pentas Seni sehingga meraih Juara I Putra dan Juara I Putri pada Perkemahan Santri Tingkat Jawa Tengah di Pakis Aji Kab. Jepara pada tanggal 31 April s – d 3 Mei 2012. Kegiatan Kemah Santri yang diikuti oleh 700 peserta dari 35 kabupaten se Jawa Tengah tersebut mengikuti berbagai kegiatan yakni Lomba LKBB, Pionering, Halang rintang, Karya Ilmiah, K3 Perkemahan dan Pentas Seni Daerah yang masing-masing diambil terbaik Putra dan Putri . Kontingen Blora yang diwakili oleh PP Al Muhammad Cepu untuk putra dan putrinya PP Al Hikmah Ngadipurwo mengusung Pentas Seni daerah khas Blora yakni Seni Barong Kreasi. Dengan lakon : Babad Medang Kamolan yang mengisahkan masuk dan berkembangnya Islam di daerah Blora. Seni Barongan yang ditampilkan santri Blora tidak hanya menghasilkan Juara I putra dan Putri tapi juga mendapatkan apresiasi yang luar biasa dari masyarakat dan Pemerintah Daerah Jepara, terbukti ketika dilaksakan pawai ta’aruf dan karnaval berkeliling kota Jepara, masyarakat dengan antusias memberikan aplaus sangat meriah kepada kontingen Kabupaten Blora. “Seni Barong yang ditampilkan santri Blora membawa misi budaya lokal dengan memasukkan unsur dakwah, sehingga penonton tidak hanya terhibur tapi juga mendapatkan nilai positif dari pertunjukan” demikian papar Fathul Himam, S.Ag. MPd.I Kasi Pekapontren Blora. Salah satu dewan Juri yang diwawancarai penulis mengatakan bahwa keunggulan Penampilan Seni Kontingen Blora adalah kostumnya lengkap, koreografinya bagus, alur ceritanya runtut dan yang paling menarik adalah kemampuan mengkolaborasikan seni barongan (adat) dengan hadroh rebana (Islam). Bravo Santri Blora ! gie
»»  Baca Selengkapnya...

Kamis, 15 Maret 2012

PROSPEK PONDOK PESANTREN


Pontren Blora, Secara historis, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang multifungsi. Ia menjadi benteng pertahanan sekaligus pusat penyiaran (dakwah) Islam. Tidak ada data yang pasti tentang awal kehadiran pesantren di Nusantara (Ensiklopedi Islam, 2005). Baru setelah abad ke-16 diketahui bahwa terdapat ratusan pesantren yang mengajarkan kitab kuning dalam berbagai bidang ilmu agama seperti fikih, tasawuf, dan akidah. 
Dalam perkembangannya, pesantren mencatat kemajuan dengan dibukanya pesantren putri dan dilaksanakannya sistem pendidikan madrasah yang mengajarkan pelajaran umum, seperti sejarah, matematika, dan ilmu bumi. Eksistensi pesantren menjadi istimewa karena ia menjadi pendidikan alternatif (penyeimbang) dari pendidikan yang dikembangkan oleh kaum kolonial (Barat) yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang. Pesantren menjadi tempat berlabuh umat Islam yang tersingkir secara budaya (pendidikan) akibat perlakuan diskriminatif penjajah.
Kini perkembangan pesantren dengan sistem pendidikannya mampu menyejajarkan diri dengan pendidikan pada umumnya. Bahkan di pesantren dibuka sekolah umum (selain madrasah) sebagaimana layaknya pendidikan umum lainnya. Kedua model pendidikan (sekolah dan madrasah) sama-sama berkembang di pesantren.
Kenyataan ini menjadi aset yang luar biasa baik bagi perkembangan pendidikan pesantren maupun pendidikan nasional pada masa yang akan datang. Dari sana diharapkan tumbuh kaum intelektual yang berwawasan luas dengan landasan spiritual yang kuat.
Pesantren dan negara
Eksistensi pesantren tidak bisa dilepaskan dari peran negara. Ranah kultural yang digeluti pesantren selama ini menjadi landasan yang sangat berarti bagi eksistensi negara. Perjuangan pesantren baik secara fisik maupun secara kultural tidak bisa dihapus dari catatan sejarah negeri ini. Dan kini generasi santri tersebut mulai memasuki jabatan-jabatan publik (pemerintah) yang dulunya hanya sebatas mimpi.
Landasan kultural yang ditanamkan kuat di pesantren diharapkan menjadi guidence dalam implementasi berbagai tugas baik pada ranah sosial, ekonomi, hukum, maupun politik baik di lembaga pemerintahan maupun swasta yang konsisten, transparan, dan akuntabel. Ini penting karena pesantren merupakan kawah candradimuka bagi munculnya agent of social change. Dan negara sangat berkepentingan atas tumbuhnya generasi yang mumpuni dan berkualitas. Oleh sebab itu, kepedulian dan perhatian negara bagi perkembangan pesantren sangat diperlukan.
Kalau selama ini pesantren telah menyumbangkan seluruh dayanya untuk kepentingan warga negara (negara), maka harus ada simbiosis mutualistis antara keduanya. Sudah waktunya negara (pemerintah) memberikan perhatian serius atas kelangsungan pesantren. Kalau selama ini pesantren bisa eksis dengan swadaya, maka eksistensi tersebut akan lebih maksimal apabila didukung oleh negara. Apalagi tantangan ke depan tentu lebih berat karena dinamika sosial juga semakin kompleks. Oleh sebab itu, diperlukan revitalisasi relasi antara pesantren dan pemerintah yang selama ini berjalan apa adanya.
Selama ini sistem pendidikan nasional belum sepenuhnya ditangani secara maksimal. Beberapa departemen melaksanakan pendidikannya sendiri (kedinasan) sesuai dengan arah dan orientasi departemen masing-masing. Sejatinya pendidikan di sebuah negara berada dalam sebuah sistem terpadu sehingga menghasilkan output yang maksimal bagi kepentingan nasional, bukan hanya kepentingan sektoral.
Inilah salah satu problem yang dihadapi sistem pendidikan nasional saat ini. Terpencarnya penyelenggaraan pendidikan menyebabkan banyak masalah. Salah satunya adalah alokasi anggaran yang tidak maksimal. Selama ini pemerintah memandang pendidikan sebagai bagian Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Oleh sebab itu, seluruh anggaran pendidikan dialokasikan untuk Depdiknas. Konsekuensinya pendidikan di bawah departemen lain mendapatkan alokasi dana seadanya.
Kenyataan tersebut tentu merupakan konsekuensi dari paradigma struktural yang melihat pendidikan hanya merupakan tanggung jawab Depdiknas. Kita bisa menyaksikan kesenjangan dana yang diterima madrasah (Depag) dengan sekolah umum atau antara perguruan tinggi Islam seperti IAIN/UIN yang dibawah kendali Depag dengan perguruan tinggi umum yang langsung ditangani Depdiknas.
Menambah alokasi dana pendidikan pada Depag akan berkonsekuensi pada membengkaknya anggaran pendidikan nasional yang sampai saat ini negara belum mampu memenuhinya sesuai ketentuan konstitusi, yaitu 20 persen dari APBN. Di samping itu, secara struktural kerja pendidikan yang dilakukan beberapa departemen tidak efektif dan merupakan pemborosan anggaran negara. Oleh sebab itu, pengelolaan pendidikan di bawah satu atap (Depdiknas) akan lebih efektif dan efisien dibandingkan diserahkan pada beberapa departemen.
Begitu juga pesantren dan madrasah yang selama ini eksistensinya lebih bersifat swadaya akan lebih maksimal apabila dikelola dengan pendanaan dan pembinaan yang lebih memadai. Apalagi saat ini pesantren mulai menyesuaikan diri dengan pendidikan umum dan standar pendidikan nasional, termasuk mendirikan sekolah umum. Berangkat dari realitas tersebut, dengan kesiapan dan penyesuaian yang dilakukan pesantren serta efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pendidikan, maka sudah waktunya pengelolaan pendidikan pesantren dimasukkan di bawah Depdiknas.
Pesantren masa depan
Eksistensi pesantren di tengah pergulatan modernitas saat ini tetap signifikan. Pesantren yang secara historis mampu memerankan dirinya sebagai benteng pertahanan dari penjajahan, kini seharusnya dapat memerankan diri sebagai benteng pertahanan dari imperialisme budaya yang begitu kuat menghegemoni kehidupan masyarakat, khususnya di perkotaan. Pesantren tetap menjadi pelabuhan bagi generasi muda agar tidak terseret dalam arus modernisme yang menjebaknya dalam kehampaan spiritual.
Keberadaan pesantren sampai saat ini membuktikan keberhasilannya menjawab tantangan zaman. Namun akselerasi modernitas yang begitu cepat menuntut pesantren untuk tanggap secara cepat pula, sehingga eksistensinya tetap relevan dan signifikan. Masa depan pesantren ditentukan oleh sejauhmana pesantren menformulasikan dirinya menjadi pesantren yang mampu menjawab tuntutan masa depan tanpa kehilangan jati dirinya.
Langkah ke arah tersebut tampaknya telah dilakukan pesantren melalui sikap akomodatifnya terhadap perkembangan teknologi modern dengan tetap menjadikan kajian agama sebagai rujukan segalanya. Kemampuan adaptatif pesantren atas perkembangan zaman justru memperkuat eksistensinya sekaligus menunjukkan keunggulannya. Keunggulan tersebut terletak pada kemampuan pesantren menggabungkan kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual. Dari pesantren sejatinya lahir manusia paripurna yang membawa masyarakat (negara) ini mampu menapaki modernitas tanpa kehilangan akar spiritualitasnya. Inilah pesantren masa depan.(gie)

»»  Baca Selengkapnya...

Selasa, 07 Februari 2012

PESANTREN DALAM DILEMA


Sejarah pendidikan pesantren akan segera memasuki babak baru pasca-terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Mampukah peraturan yang disahkan bertepatan dengan Hari ABRI (5 Oktober 2007) itu menjadi instrumen pengembangan dan akomodasi pesantren dalam kebijakan pemerintah? Atau sebaliknya, ia justru menjadi alat homogenisasi-hegemonik pemerintah terhadap pesantren?

Peluang
Di satu sisi, terbitnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) merupakan peluang emas bagi pengembangan pesantren. Pasalnya, UU tersebut telah menghapus diskriminasi terhadap pendidikan keagamaan yang berlangsung selama ini. Konkretnya, pendidikan diniyah dan pesantren telah diakui sebagai bentuk pendidikan keagamaan (pasal 30 ayat 4).
Dengan demikian, beberapa kalangan meyakini nasib lembaga pendidikan yang genuine dan tertua di Indonesia ini bakal menjadi ”lebih baik”. Kecenderungan aparat birokrasi pendidikan meminggirkan pesantren dari arus utama kebijakan selama ini tidak sah lagi diteruskan. Dukungan kebijakan dan pendanaan untuk pendidikan diniyah dan pesantren pun diyakini akan lebih besar daripada sebelumnya.
Pada saat sama, dengan persyaratan tertentu, alumni pendidikan diniyah dan pesantren akan mendapatkan perlakuan dan pengakuan yang sama dengan alumni pendidikan umum. Artinya, kesinambungan pendidikan dan kiprah sosial-politik-kemasyarakatan alumni pesantren tidak akan terhalang hanya karena yang bersangkutan tidak pernah mengenyam pendidikan umum atau memiliki ijazah ”pendidikan formal”.
Konsekuensinya, kedua institusi pendidikan keagamaan ini akan terikat dengan berbagai regulasi teknis dan ketentuan administratif. Dan, inilah harga yang harus dibayar kalangan pesantren untuk mendapatkan kesetaraan perlakuan dan pengakuan tersebut.
Pertanyaannya, wajarkah harga tersebut bila dibandingkan dengan ”fasilitas” yang akan diperoleh? Jawaban atas pertanyaan ini akan dapat ditemukan dengan mencermati beberapa ketentuan yang termaktub dalam PP 55/2007.

Dilema
    Terlepas dari berbagai ”janji sorga” yang disampaikan pemerintah, peraturan ini menyimpan sedikitnya tiga ranjau yang menjadi dilema dan mengancam eksistensi, karakter dan kekhasan pesantren dalam jangka panjang.
Pertama, pesantren sejak awal harus mewaspadai kecenderungan timpangnya eksekusi kewenangan pemerintah dibanding pemenuhan kewajiban dan tanggung jawabnya. Kasus reduksi pemenuhan kewajiban pemerintah atas pembiayaan pendidikan dasar yang di-”make up” dengan istilah ”bantuan” dalam program bantuan operasional sekolah (BOS) adalah indikasi nyata kuatnya kecenderungan itu. Contoh aktual adalah implementasi UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen yang karut marut belakangan ini.
Kedua, terkait kecenderungan di atas, perlu juga diwaspadai adanya upaya homogenisasi-hegemonik dan birokratisasi pesantren dan pendidikan diniyah melalui instrumen evaluasi dan akreditasi. Sebagaimana diatur dalam Pasal 12 PP No 55/2007, pemerintah dan/atau lembaga mandiri yang berwenang melakukan akreditasi atas pendidikan keagamaan untuk penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan sesuai Standar Nasional Pendidikan (SNP) setelah memperoleh pertimbangan dari Menteri Agama. Sementara itu, pelaksanaan ujian nasional ditetapkan dengan Peraturan Menteri Agama dengan berpedoman kepada SNP (Pasal 19).
Sekilas, tidak ada sesuatu yang janggal dalam ketentuan ini. Tetapi, jika kita cermati ruang lingkup SNP dalam PP No 19/2005, maka kejanggalan itu akan tampak. Pasalnya, SNP meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan (pasal 2 ayat 1).
Artinya, untuk implementasi peraturan ini, pemerintah perlu membentuk lembaga sertifikasi pendidik dan tenaga kependidikan atau lembaga penjaminan mutu. Dalam sebuah diskusi, penulis secara berkelakar menyampaikan bahwa jika Departemen Pendidikan Nasional mengatur lembaga sertifikasi guru, maka Departemen Agama dalam waktu dekat akan mengatur lembaga sertifikasi kiai.
Ketiga, intervensi kurikulum. Kurikulum pendidikan diniyah formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, dan ilmu pengetahuan alam untuk diniyah dasar serta ditambah pendidikan seni dan budaya untuk diniyah menengah (Pasal 18).
Dibandingkan dengan draf awal rancangan PP ini yang disusun pada 2003, ketentuan di atas jauh lebih longgar. Sebelumnya, ketentuan kurikulum pendidikan diniyah mencantumkan lebih dari 10 mata pelajaran yang wajib diajarkan. Meski demikian, tidak ada jaminan bahwa jumlah mata pelajaran tersebut tidak akan ditambah seiring dengan implementasinya di kemudian hari.
Pasalnya, meski dihapus dari PP, pengaturan isi kurikulum pendidikan keagamaan justru dialihkan kepada Peraturan Menteri Agama dengan merujuk SNP. Jika demikian halnya, nasib diniyah hampir dapat dipastikan akan segera menyusul nasib madrasah (ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah) yang awalnya hanya diwajibkan memiliki muatan pendidikan umum sekitar 30 persen.
Di atas itu semua, berbagai prosedur teknis-administratif yang disyaratkan dalam peraturan ini akan menyeret pendidikan diniyah dan pesantren ke dalam pusaran birokratisasi yang melelahkan. Dalam kondisi begitu, peran pesantren –dengan lembaga pendidikan diniyah di dalamnya-- akan tereduksi sebagai lembaga pendidikan semata.
Padahal, dalam sejarah panjangnya, peran pesantren telah melingkupi enam ranah penting sekaligus. Yaitu, sebagai lembaga pendidikan, lembaga keilmuan, lembaga pelatihan, lembaga pemberdayaan masyarakat, lembaga bimbingan keagamaan, dan simpul budaya (Dian Nafi’ et al, 2007).
Keenam peran tersebut pada umumnya dijalankan pesantren secara bertahap. Dan, peran sebagai lembaga pendidikan adalah tahap pertama dari keseluruhan peran tersebut. Karena itu, jika energi pesantren tersita untuk pemenuhan hal-hal yang bersifat administratif-birokratis, bukan tidak mungkin peran-peran lainnya akan tereduksi secara alamiah. Wallahu a’lam.
»»  Baca Selengkapnya...

FASTIVAL MADIN KAB. BLORA

Peserta fastival sedang berparade

BLORA, suaramerdeka.com - Untuk menanamkan nilai-nilai kecintaan terhadap ajaran agama terhadap anak didik, Forum Kerjasama Madrasah Diniyah (FKMD) Kabupaten Blora akan menggelar Festival Madrasah Diniyah (Madin). Festival akan diikuti lebih dari 360 Madin yang ada di Kota Satai.
Ketua FKMD Ahmad Zaisi SAg menjelaskan, festival mempertandingkan sejumlah jenis lomba. Antara lain hafalan qiroatul kitab Safinatun Naja, hafalan kitab Aqidatul Awam, hafalan kitab Jurumiyah, pidato Bahasa Arab, pidata Bahasa Indonesia, kaligrafi, dan Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ).
''Lomba akan dilaksanakan di gedung PCNU Blora. Insya Allah festival akan kami selenggarakan awal 2012, antara Januari-Februari,'' terang Zaini.
Zaini menambahkan, festival Madin ini merupakan agenda rutin yang digelar setiap tahun. ''Tujuannya meningkatkan tali silaturrahmi sesama Madin dan memotivasi anak-anak untuk mendalami pendidikan agama. Kami berharap pengelola Madin bisa berpartisipasi dalam kegiatan ini,'' paparnya.
Sholihin Hasan, staf pengajar Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Muhamad, Cepu, memberikan apresiasi positif terhadap kegiatan festival Madin yang akan segera digelar.
''Festival ini sangat bermanfaat bagi pengelola dan santri Madin di Blora. Selain untuk meningkatkan jalinan silaturahmi, juga akan meotivasi membangun SDM Madin yang lebih baik,'' katanya.
»»  Baca Selengkapnya...

Selasa, 17 Januari 2012

KEUNGGULAN PONDOK PESANTREN DIBANDING LEMBAGA PENDIDIKAN FORMAL




Blora, “Salah satu keunggulan pendidikan di Pondok Pesantren dibandingkan Lembaga Pendidikan Formal adalah ketaatan siswa kepada pendidik (Kyai)” demikian dikatakan Drs. H. Tri Hidayat selaku Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Blora dalam acara Pembukaan Fastival Madrasah Diniyah tingkat Kecamatan se Kabupaten Blora. Kegiatan tersebut juga dimeriahkan parade Drum Band dan Marching Band dari MI dan MTs As Salafiyah Gedongsari.
Pelaksanaan Kegiatan Fastival yang dilaksanakan hari Ahad tanggal 8 Januari 2011 di Pondok Pesantren Salafiyah Gedongsari Kec. Banjarejo tersebut menurut K.H. Muslih A.Ma selaku Ketua Panitia, Fastival Madin merupakan awal lomba di tiap Kecamatan untuk selanjutnya dilaksanakan oleh Forum Kerjasama Madrasah Diniyah (FKMD) di wilayahnya masing-masing. “Kegiatan ini diikuti lebih dari 100 peserta, memperebutkan kejuaraan dari 7 (tujuh) cabang Lomba meliputi Qiroatul Kutub, Hafalan Juz ‘Amma, Hafalan Nadhom Aqidatul Awam, Tilawatil Qur’an, Pidato Bahasa Arab dan Indonesia serta Kaligrafi”. lanjut Ketua FKMD Kec. Banjarejo tersebut.
Dalam kesempatan yang sama Kepala Kantor Kementerian Agama yang alumnus Fakultas Ushuludin IAIN Walisongo Tahun 1985 ini juga memaparkan bahwa Kyai sebagai tokoh sentral dalam Pondok Pesantren memberikan totalitas waktu, tenaga dan perhatiannya untuk mendidik santri, tidak hanya menyampaikan materi pelajaran yang bersumber dari Al Qur’an Hadis maupun Kitab-Kitab Klasik (Kuning) saja, akan tetapi juga sebagai teladan dalam kegiatan kesehariannya”
Pada dekade ini banyak tokoh pendidikan yang mengadopsi pola pendidikan Pondok Pesantren. Bahkan pola pendidikan di Pondok Pesantren telah menjadi inspirasi di Luar Negeri (Jepang) dengan model Boarding School maupun Lesson Study.
Sistem Pendidikan di Pondok Pesantren yang banyak ditiru oleh lembaga pendidikan modern sekarang antara lain dari segi:
- Interaksi langsung antara Kyai dan santri.
- Hidup bersahaja/sedehana walaupun gedungnya megah.
- Belajar dan beribadah berlangsung 24 jam.
- Hubungan antara santri dan Kyai merupakan hubungan multi dimensional.
- Kebiasaan hidup mandiri.” demikian kata tokoh yang lahir di lingkungan pesantren dari Kudus tersebut.
Keunggulan pendidikan di Pondok Pesantren karena Pola Pendidikan yang khas, yang tidak dimiliki oleh Lembaga Pendidikan Formal, antara lain:
Anak yang masuk lingkungan Pondok Pesantren, umumnya disampaikan kontrak belajar antara orang tua, kyai dan santri secara langsung, (walaupun tidak tertulis) yang intinya tentang penyerahan anak sepenuhnya kepada Kyai untuk dididik dengan peraturan serta tata cara hidup dan belajar di Pondok Pesantren. Di samping itu lingkungan pergaulan di Pondok Pesantren terkontrol dengan ketat. Setiap pelanggaran yang dilakukan santri akan di ta’zir (dihukum) tanpa pandang bulu. Dan yang paling utama adalah kesederhanaan dan keikhlasan Kyai dalam mendidik santri memberikan suri tauladan yang membekas dalam pada perilaku santri, bahkan perilaku itu tetap tertanam walaupun santri telah keluar dari Pondok Peantren. (gie)
»»  Baca Selengkapnya...